Jumat, 06 Juli 2012
KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI TANAH PAPUA
BAGAIMANA INTEGRASI PAPUA ITU?
By suciptoardi on 22 April 2008
Gasper Muabuay
Timika Post, Sunday, 8 Jun, 2003, 2:58pm
Mungkin belum terlalu lambat untuk menyimak kembali apa yang disampaikan gubernur Papua dalam acara peringatan HUT integrasi Papua pada awal bulan mei 2003 ini yang juga dilansir harian ini (timika post) dan surat kabar harian kompas.
Keterbukaan sikap pemerintah lewat penjelasan dalam sambutan gubernur Papua 1 Mei 2003 lalu pada acara peringatan HUT integrasi Papua ke Pangkuan ibu peratiwi patut dihargai semua pihak. Keterbukaan yang cukup terukur dari seorang kepala pemerintahan di Provinsi ini.
Kita semua tahu, selama jaman kekuasaan pemerintahan orde baru yang otoriter, penjelasan seperti ini sangat ditutup rapat-rapat. Pikiran boleh berbisik bebas dengan suara hati sendiri, tapi mulut tergemboki. Di dalam produk penyusunan mata pelajaran sejarah nasional Indonesia pun tidak dituangkan secara jelas jalan cerita sejarah pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu peratiwi ini. Sehingga sudah beberapa generasi dalam bangsa ini tidak memahami dengan baik proses sejarah yang satu ini.
Integrasi Papua ke pangkuan ibu peratiwi seharusnya dijadikan kebanggaan sebagai fakta pembelajaran sejarah. Namun rasanya belum pernah dibuka kepada bangsa Indonesia dan khususnya kepada rakyat Papua mengenai jalan cerita dari proses referendum yang pernah dilaksanakan di tanah Papua. Papua yang pernah dahulu mengalami Proses integrasi tahun 1969 lewat PBB.
Sebutan yang diberikan PBB untuk pelaksanaan referendum pada waktu itu di Irian Barat, dengan nama PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Namun peristiwa 34 tahun lalu itu masih hanya berupa pesan lisan sejarah. Pertanyaannya sampai kini direka-reka sendiri oleh masyarakat Papua dan bangsa Indonesia. Hingga timbul pertanyaan, pernahkah Penentuan Pendapat Rakyat itu selayaknya dilakukan melibatkkan seluruh rakyat Papua yang memiliki hak saat itu di Papua?
Sebagai jawabnnya, silahkan menyimak kutipan sambutan Gubernur Papua pada HUT Ke 40 Integrasi, yang dimuat harian Kompas, jumat 02 Mei 2003. menurut Solossa, 1 Mei 1963 terjadi perubahan sebuah sejarah yang sangat penting bagi bangsa Papua, yakni proses integrasi rakyat Irian Jaya ke pangkuan negara kesatuan RI melalui cara dan prosedur demokrasi yang sah dan diterima masyarakat internasional.
Ketika Belanda mengakui Indonesia pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, November 1949 )Irian Barat waktu itu) masih belum terselesaikan. Hanya disetujui status politik Irian Barat akan dituntaskan melalui perundingan dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Proses perundingan dan penyelesaian Irian Barat tidak berjalan sebagaiamana diharapkan, disamping melalui perdebatan yang cukup sengit diwarnai ancaman akan adanya konfrontasi bersenjata.
Namun, melalui perjanjian New York 15 Agustus 1962 tentang Irian Barat yang disahkan Sidang Majelis Umum PBB ke 17 pada 21 September 1962 dalam bentuk resolusi Nomor 1752. Sesuai persetujuan New York tersebut, hak menentukan nasib sendiri penduduk Irian Barat dilaksanakan melalui Penentuan Pendapat Rakayat (Pepera), 14 Juli-2 Agustus 1969.”
Menjadi suatu pertanyaan, dari penjelasan versi gubernur Solossa (pemerintah) di atas tentang pelaksanaan Pepera 14 Juli-2 Agustus 1969 itu telah sesuai tata cara benar dan secara demokrasi One Man One Vote yang lasimnya diterapkan badan dunia PBB di mana saja di berbagai belahan dunia dalam soal mengatur Penentuan nasib sendiri suatu bangsa?
Sejarah membenarkan dan memaparkan suatu contoh yang benar kepada dunia. Di dalam proses jajak pendapat dibawah pengawasan PBB yang dilakukan di Tim-tim tahun 2000, terkenal sangat demokrasi, karena rakyatnya benar-benar memilih menentukan pendapatnya masing-masing melalui referendum yang terbuka, jelas, tidak terselubung demi penentuan nasib masa depan tanah air mereka. Jajak pendapat menuju penentuan nasib sendiri itu dilakukan secara bebas dan demokratis.
Penentuan Pendapat rakyat atau referendum berhasil di Timtim adalah fakta pembelajaran yang secara ontologis dapat menimbulkan keingintahuan semua orang dan khususnya orang Papua sendiri. Sejak itu, banyak orang mulai bertanya-tanya, model yang bagaimana pelaksanaan referendum di Papua pada waktu itu? Apakah pelaksaannya seperti di Timtim?
Sejarah mengatakan demikian. Namun realitasnya tidak banyak diketahui dengan jelas proses tesebut. Penjelasan singkat dari sambutan gubernur pada acara peringatan HUT integarsi Papu 01 Mei 2003 lalu cukup membantu membuka sejarah dan penting untuk direnungkan.
Konon cerita pelaku sejarah dari generasi Papua yang terlibat langsung atau mereka yang mengalami masa-masa transisi dalam situasi PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di tahun 1969, mengaku memang saat itu tidak ada model/tata cara pemilihan seperti yang dilakukan di Timtim.
Cerita yang berkembang adalah “melalui wakil-wakil yang dipilih dari tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala suku, intelektual dan perwakilan pemuda yang jumlahnya kurang lebih 1026 orang dan berada dibawa satu arahan yang direstui PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk secara bulat suara menyatakan persetuajuan berintegrasi dengan ibu peratiwi. Yang berartimengikuti suasana demokrasi dunia pada waktu itu yang menganggap sah-sah saja proses PEPERA tersebut.
One Man One Vote dinyatakan tidak berlaku atas sekitar kurang lebih enam ratus ribu penduduk Papua waktu itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar