Minggu, 16 September 2012

Kolom: Akankah 2012 tanpa senjata, mesiu dan stigma separ...


Akankah 2012 tanpa senjata, mesiu dan stigma separatis di Papua?

Peta Papua
Bedil, mesiu dan stigma separatisme jadi kata kunci untuk meneropong kondisi Papua pada semester terakhir 2011. Stigma separtisme selalu dipakai untuk membenarkan tindakan represif Negara terhadap penduduk Papua. Kegagalan Pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua pun dilupakan. Sebuah landasan yang buruk memasuki 2012.


Kondisi hidup penduduk Papua yang sudah sekarat, masih harus dibebani duka dan luka akibat tindak kekerasan yang terus terjadi—dan cenderung diambangkan tanpa penyelesaian. Istri harus kehilangan suami, anak belasan tahun dipaksa melihat ayahnya diseret dan disiksa di depan mata. Pengalaman traumatik ini tidak akan terus melanggengkan rantai kekerasan di Papua.

Sedikitnya, ada empat wilayah Papua yang sepanjang 2011 bersimbah darah dan air mata akibat kekerasan konspiratif yang dimainkan kelompok-kelompok kerusuhan di Papua. Jayapura, Puncak Jaya, Timika dan Paniai.

Titik kekerasan

Kekerasan berantai di awali pada April 2011. Pada Rabu, 6 April 2011, sekitar pukul 14.40 waktu Papua penembakan oleh kelompok bersenjata terjadi di areal Freeport, mile 37.

Keesokan harinya, Kamis 7 April 2011, dua satuan keamanan (Satpam) PT Freeport ditemukan tewas mengenaskan pada pukul 18.15 waktu Papua. Dani Masawan dan Hari Siregar, disiksa, ditembaki, kemudian di bakar dalam mobil. Jurubicara PT Freeport Indonesia, Ramdani Sirait menjelaskan adanya bekas tembakan di mobil.

Setelah Timika, kerusuhan berdarah pindah ke Kabupaten Dogiyai, kabupaten baru dari pemekaran Kabupaten Paniai. Pada 13 April 2011 Kantor Kepolisian Sektor Kamu, Moenamani, Kabupaten Dogiyai diserang sekelompok warga. Warga berang, anggota patroli Polsek Moenamani menahan warga yang mabuk dan mengambil kupon toto gelap (togel) dari para Bandar kecil di Pasar Moenamani.

Kepala Polsek Kamu Ajun Komisaris Mardi Marpaung dikeroyok, pistol revolver miliknya kemudian dirampas massa. Satu warga tertembak, dua lainnya luka serius karena tembakan. Akibat kerusuhan ini ratusan penduduk di lima kecamatan Dogiyai memilih mengungsi ke Kabupaten Paniai, Kabupaten Diyai, Kabupaten Nabire, atau melarikan diri ke hutan

Sebanyak belasan hingga puluhan sekelompok orang bertopeng, Pada Minggu (17/7) melakukan aksi teror terhadap warga korban gempa di Distrik Masirei, Kampung Koweda, Kabupaten Waropen, Papua. Warga Distrik Demba dilaporkan juga mengalami teror, tetapi komunikasi ke lokasi sulit dilakukan. Selain dilengkapi peralatan canggih dan ponsel satelit, peneror juga terkesan sangat terlatih.

Api kekerasan bergeser ke Kabupaten Puncak Jaya. Tiga anggota TNI Yonif 751/BS terluka akibat ditembaki kelompok bersenjata ketika patroli di Kampong Kalome, pada 5 Juli 2011. Beberapa hari berikutnya, dua anggota Batalyon 753 AVT Nabire, dan seorang warga sipil ditembak kelompok bersenjata di Kampong Kalome, Distrik Tinggi Nambut pada Selasa 12 Juli 2011.

Konflik bersenjata antara anggota TNi dan kelompok bersenjata masih terus terjadi pada periode Juli 2011 di Kampung Yambi, Kampung Kimak, dan beberapa kampong lainnya, Puluhan warga sipil tewas, sejumlah anggota TNI tewas. Dan ratusan warga memilih mengungsi ke tempat yang dianggap aman.

Kampung nafri, Abepura, Jayapura, adalah ‘pemberhentian’ kekerasan sementara. Pada Senin, 1 Agustus 2011 dinihari, sebelas orang menjadi korban menembakan kelompok bersenjata di Kampung Nafri, Kota Jayapura. Empat diantaranya akhirnya meninggal dunia. Kepolisian Resort Jayapura Kota menuding kelompok Tentara Pembebasan Negara/Organisasi Papua Merdeka sebagai pelaku penembakan.

Freeport

Setelah sekian lama cukup tenang, konflik Papua mulai ‘dimainkan’ di Timika. Melalui aksi mogok ribuan buruh PT Freeport Indonesia. Aksi mogok yang semula damai berubah menjadi kisruh berdarah pada 10 Oktober 2011. Akibat bentrok dengan polisi, seorang buruh PT Pangan Sari Utama, Petrus Ayamiseba tewas seketika. Beberapa hari kemudian Leo Wandegao, buruh Departemen Central Service tewas setelah beberapa hari kritis akibat luka tembak di punggung.

Untuk pertama kalinya pada 2011—setelah sepanjang 2010 tidak ada penembakan di areal PT Freeport— pecah aksi penembakan. Kelompok bersenjata pada Jumat sore, 14 Oktober 2011 membunuh tiga pekerja PT Puri Fajar Mandiri, (salah satu perusahaan kontraktor PT FI) di mile 37. Seminggu berikutnya, pada Jumat dinihari, 21 Oktober 2011, penembakan kembali terjadi.

Di mile 38-40 pekerja PT Kuala Pelabuhan Indonesia (KPI) Aloysius Margana, dan dua penambang tradisional Alex Etok Laitowono dan Yunus, tewas. Warga Kampung Nayaro dan warga kampong Kamoro mengungsi.

Aksi tembak terus terjadi di areal Freeport, korban tewas dan luka terus berjatuhan. Sasaran kelompok penembak adalah karyawan Freeport, Satpam Freeport dan polisi. Aksi penembakan baru berhenti setelah seorang Satpam Freeport Ferry Willem Sanyiaki tewas ditembak di kepala di mile 51-52 pada Jumat 18 November 2011.

Kongres berdarah

Ricuh berdarah kembali bergeser ke Jayapura. Kongres Rakyat Papua III dibubarkan paksa oleh pasukan gabungan TNI-Polri. Sebabnya, peserta kongres nekat mendeklarasikan berdirinya Negara Papua di lapangan Sepak bola Zakheus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura pada 22 Oktober 2011.

Jumlah korban tewas akibat penyerbuan ini sempat simpang siur. Komnas HAM Papua, Matius Murib menyebut enam orang tewas. Dua ditemukan di belakang Markas korem 172 PWY Padang Bulan. Ratusan warga ditangkap, disiksa dan diintimidasi.

Belum tuntas Jayapura, Paniai kembali membara. Puluhan pasukan Brigade Mobil diterjunkan ke markas kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), dari kelompok anak buah almarhum Tadeus Yogi di Eduda, Paniai. Seorang anggota Brimob, Brigadir Satu Supono, terluka. Sementara belasan penduduk—tidak teridentifikasi anggota OPM atau bukan—tewas diterjang peluru pasukan keamanan.

Pada 24 Oktober 2011, penembakan ditempat terbuka terjadi di Bandara Mulia. Kapolsek Mulia, kabupaten Puncak Jaya, AKP Dominggus Otto Awes, tewas ditembak dua orang tidak dikenal di bandara udara Mulia. Penyerang juga merampas senjata api jenis REV Taurus XK 25609.

Penembakan dan berabagai tindak kekerasan ini hingga kini tidak pernah terungkap. Pelaku penyerangan bersenjata juga tidak seorang pun dapat ditangkap, tetapi tudingan bahwa OPM berada dibalik aksi-aksi kekerasan bersenjata ini terus dilakukan. Akibat tudingan tanpa bukti ini, sebagian besar penduduk Papua, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman mengaku kuatir dan was-was kalau sewaktu-waktu dilakukan operasi militer dan penyisiran.

Peringatan HUT Papua Merdeka pada 1 Desember 2011 diwarnai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa tempat. Siapa pengibar bendera itu, karena sama sekali tidak ada bukti dan indikasi bahwa gerakan separatis di Papua mulai bangkit. Sejak periode April hingga Oktober 2011, situasi keamanan di Papua didominasi oleh aksi tembak menembak kelompok bersenjata ‘misterius’.

Tidak pernah dapat (tidak ada keinginan serius) dibuktikan siapa melakukan apa. Tudingan bahwa OPM ada dibalik penyerangan bersenjata ini adalah sangkaan yang sangtat klise. Apalagi tidak seorang pun pernah ditangkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar