Minggu, 27 Mei 2012

ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM HUMANITER

           





 OLEH PAPUANIS ALAMKINAL




          Istilah dan Pengertian Hukum humaniter Hukum humaniter internasional dahulu disebut hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata yang pada umumnya termuat dalam aturan tingkah laku, moral, dan agama yang terdapat pada ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam, bahkan pada masa 3000-1500 SM ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia, dan Mesir Kuno. Konsep perang yang adil (just war) telah dikenal bangsa Yunani. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berdasarkan moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi hukum humaniter internasional. Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan hukum humaniter internasional. Istilah hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (laws of war) banyak dipakai dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Protokol Tambahan I 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II 1977 tentang Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Pada permulaan abad ke-20 diatur pula mengenai cara berperang yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (Humanity Principle). Perkembangan ini membuat istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu menjadi Hukum Humaniter Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata, dan hukum humaniter internasional, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama. Hukum perang atau hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam hal kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh yang boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik bersenjata. Seandainya tidak ada kaidah hukum humaniter, maka kebiadaban dan kebrutalan perang tidak akan dapat dikekang lagi. Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana aturan-aturan hukum humaniter internasional itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk menyebutkan pencipta dari hukum humaniter internasional. Sedemikian tuanya sejarah perang atau konflik antar umat manusia, Quincy Wright, pakar hukum internasional terkemuka mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang, yaitu: (1) Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals) (2) Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men) (3) Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men) (4) Perang yang menggunakan teknologi modern (by men using modern technology) Hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi-situasi perang. Istilah hukum humaniter internasional adalah istilah yang relatif baru, di mana istilah ini muncul tahun 1971 ketika diadakan Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Develpment in Armed Conflict. Selanjutnya dari tahun 1974 sampai dengan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi dan ruang lingkup hukum humaniter internasional. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut: a. Menurut Jean Pictet: International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wheter written and customary, ensuring respect for individual and his well being.Pengertian di atas dapat diartikan: Hukum humaniter international dalam pengertian yang luas termasuk dalam ketentuan hukum, baik tertulis, maupun kebiasaan, menjamin penghormatan individu dan kebaikannya. b. Geza Herzeg merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time armed conflict. Its place is beside the norm of werfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different. Hal ini dapat diterjemahkan: Bagian dari aturan hukum internasional publik yang memberikan perlindungan kepada individu pada saat sengketa bersenjata. Yang berada di samping ketentuan perang atau yang serupa dengan itu, tetapi harus jelas membedakan maksud dan semangat yang menjadi perbedaan. c. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter internasional adalah: Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut mengenai cara melakukan perang. d. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara: Hukum sengketa bersenjata, yaitu mengatur tentang permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, dan hubungan pihak bertikai dengan negara netral. Selanjutnya merumuskan Law of Warfare, yang mencakup metode dan sarana berperang, status kombatan, dan perlindungan terhadap mereka yang sakit, tawanan perang, serta orang-orang sipil. e. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut: Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan harkat dan mertabat seseorang. Dari definisi-definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter internasional dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Aliran luas dianut oleh Jean Pictet, dapat diartikan bahwa hukum humaniter internasional mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi Manusia. Aliran sempit menyatakan bahwa hukum humaniter internasional hanya menyangkut Konvensi Jenewa. Aliran ini dianut oleh Geza Harzegh. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter internasional terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum humaniter internasional terdiri dari sekumpulan aturan internasional yang bertujuan untuk membatasi akibat-akibat dari peperangan, baik orang maupun objek-objek lainnya. Hukum humaniter internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter internasional, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter internasional mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter internasional adalah untuk memanusiawikan perang.Secara umum tujuan yang paling mendasar dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu, juga menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan lawan, harus dilindungi dan dirawat serta berhak diberlakukan sebagai tawanan perang, dan untuk mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas, yang terpenting adalah asas-asas perikemanusiaan. / �-� �� • Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya. • Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim. 4. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut: A. diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness. Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas. Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa: 1. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan; 2. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya; 3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan. C. Kekebalan terhadap korespondensi perwakilan diplomatik Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi. Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya. Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa: The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State. Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut. Pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik dan tanggalnya kekebalan seorang diplomat Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik dari seorang diplomat maupun mengenai kekebalan gedung-gedung perwakilan yang terjadi amtara suatu Negara pengirim dengan Negara penerimanya. Misalnya kasus pemerintah Thailand yang menanggalkan kekebalan staf diplomatiknya di kedutaan besarnya di London Inggris yang terlibat dalam kasus penyelundupan heroin pada tahun 1992, Lalu kasus pemerintah Zaire yang menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatnya yang menabrak mati dua orang anak kecil di perancis selatan pada tahun 1996, lalu ada juga peristiwa di Pakistan dimana polisi Pakistan memasuki gedung perwakilan Irak di Islamabad (Pakistan), dan juga Kasus Makharadze yang ditanggalkan kekebalan diplomatiknya setelah menabrak sebuah mobil dan menewaskan seorang gadis muda berusia 10 tahun dan melukai 4 orang lainnya di Washington pada tahun 1997 atas kejadian tersebut pemerintah Amerika serikat melalui menteri luar negerinya menghimbau kepada pemerintah Georgia agar menangglakan kekebalan diplomatik georgui Makharadze dan membiarkan diplomatnya tersebut diadili dengan menggunakan hukum wilayah setempat. Kekebalan yang dimiliki seorang wakil diplomatik didasarkan pada prinsip pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya dengan sempurna. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perwakilan diplomatik beserta fasilitas-fasilitasnya termasuk di dalamnya gedung perwakilan diplomatik asing. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa status gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolable) karena merupakan bentuk penghormatan negara penerima atas keberadaan suatu misi diplomatik sehingga pejabat-pejabat dari negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Tanggung jawab negara lahir apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum internasional karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum internasional. Pelanggaran terhadap kekebalan perwakilan diplomatik oleh negara penerima bisa terjadi apabila negara penerima tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyaman terhadap para diplomatik dalam menjalan kan fungsi dan misi-misinya. Negara peneri ma wajib memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut dan menjaga kehormatan dari negara pengirim wakil diplomatik sebagai negara yang berdaulat. Menurut Konvensi Wina 1961 dijelaskan dalam pasal 32 mengenai ketentuan-ketentuan tentang penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum. Disebutkan bahwa kekuasaan dari pejabat-pejabat diplomatikdan orang-orang yang menikmati kekebalan seperti tersebut dalam pasal 37 dapat ditanggalkan oleh Negara pengirim. Namun penanggalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas. Untuk mengadakan hubungan diplomatik antar negara, diperlukan adanya sebuah perwakilan yang mewakili suatu negara di negara lain, yang disebut sebagai perwakilan diplomatik. Sedangkan pelaksanaan dari perwakilan diplomatik dijalankan oleh pejabat diplomatik. Pejabat diplomatik atau yang disebut juga dengan diplomat merupakan wakil dari negara yang mengirimnya. Sebagaimana telah diatur oleh hukum internasional, pejabat diplomatik atau diplomat memiliki kekebalan diplomatik selama dia menjalankan tugasnya. Hal itu diberikan agar pejabat diplomatik dapat menjalan tugasnya dengan baik tanpa ada gangguan yang menimpa dirinya. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Salah satu kekebalan yang dimiliki oleh pejabat diplomatik adalah kekebalan terhadap dirinya, yaitu bahwa seorang diplomat tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 29 Konvensi Wina tahun 1961. Selain itu, negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kekebasannya atau martabatnya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kekebalan tersebut sering dilanggar oleh negara penerima sehingga menyebabkan insiden yang dapat merugikan atau menganggu pejabat diplomatik. Insiden yang terjadi dapat diselesaikan dengan menganalisa dan meneliti sebaik-baiknya bahwa kekebalan diplomatik terhadap diri diplomat merupakan kekebalan yang tidak dapat diganggu gugat dan juga diatur secara tegas oleh hukum Internasional, dalam hal ini Konvensi Wina tahun 1961.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar